HukumOpiniPajak

OPINI: Perbedaan SPT Tahunan dan LHKPN

Memasuki awal tahun, terdapat kewajiban pelaporan pajak tahunan sebagai bukti bentuk perwujudan kepatuhan sebagai penduduk Indonesia. Pada saat bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau penyelenggara negara untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Berdasarkan Undang-Undang No. 28/1999, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi penyelenggara negara harus melakukan kedua pelaporan tersebut sekaligus, meskipun masih banyak yang belum memahami perbedaannya. Pelaporan pajak tahunan lebih kepada kewajiban sebagai penduduk dengan negara, sehingga isinya termasuk ke ranah rahasia negara dan rahasia jabatan.

Sementara itu, LHKPN merupakan bentuk transparansi kepada publik untuk mewujudkan good governance. Setiap orang dapat mengakses data LHKPN di website KPK dan biasanya dipublikasikan oleh media massa jika terdapat penyelenggara negara yang tertangkap oleh KPK.

Salah satu kesamaan kedua pelaporan tersebut adalah kewajiban melaporkan jumlah harta bersih (harta dikurangi utang) dengan konsep dasar yang berbeda. Pelaporan harta dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan menggunakan konsep historical cost, yaitu nilai uang saat pembelian. Setiap terjadi kenaikan (apresiasi) harta tertentu, misalnya properti, real estat, saham, atau barang-barang langka (seperti lukisan), belum dianggap sebagai penghasilan sampai dengan harta tersebut berpindah kepemilikan.

Sementara itu, konsep pelaporan harta dalam LHKPN menggunakan konsep net realizable value yaitu nilai pendapatan (jika akan dijual/dilepas) dari aset tersebut dikurangi dengan seluruh biaya pelepasannya. Oleh karena itu, penambahan jumlah harta dalam LHKPN yang dilakukan oleh penyelenggara negara adalah hal yang sangat lumrah.

Sebagian merupakan penambahan yang berasal dari kepemilikan harta atau disebut dengan capital gain. Hal inilah yang sering mengakibatkan terjadinya kesalahan persepsi oleh publik, kenaikan harta penyelenggara negara merupakan sesuatu yang lumrah. Kenaikan harta tidak dapat serta merta dikaitkan langsung dengan tindakan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.

Perbedaan konsep tersebut membuat pelaporan harta dalam SPT Tahunan dengan LHKPN tidak dapat diperbandingkan, meskipun sama-sama dengan pendekatan yang bersifat konservatif.

Saat ini, kedua pelaporan juga sudah mengadopsi teknologi terbaru dengan pelaporan online. Membandingkan kedua sistem informasi maka dapat dilihat bahwa pelaporan LHKPN, meskipun lebih rumit dan perinci, lebih baik dibandingkan dengan pelaporan harta dalam SPT Tahunan.

Sebelum melakukan tahapan akhir pelaporan formulir LHKPN, terdapat perbandingan item-item pelaporan tahun ini dengan tahun sebelumnya. Hal ini sangat membantu bagi para pelapor dalam melakukan pengecekan terakhir, terutama membandingkan jumlah tambahan harta dengan besarnya pemasukan dan pengeluaran.

Sayangnya, hal ini tidak terdapat pada pelaporan SPT Tahunan PPh Perseorangan sehingga terlihat naif. Pelapor tidak dapat melihat perbandingan pelaporan tahun lalu dengan tahun sebelumnya.

Mengacu ke UU Pajak Penghasilan, maka penghasilan didefinisikan sebagai “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak bersangkutan.” Sehingga tambahan harta menjadi krusial dalam menghitung pajak penghasilan.

Ketidakpatuhan pelaporan SPT PPh yang dilakukan oleh Wajib Pajak di Indonesia salah satunya tecermin dari belum dilaporkannya seluruh daftar harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Setidaknya pemerintah sudah dua kali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir memberikan kesempatan agar Wajib Pajak memperbaiki pelaporan pajak.

Pertama, program pengampunan pajak tahun 2016 dan program pengungkapan sukarela yang berlangsung semester I/2022. Direktorat Jenderal Pajak seharusnya dapat memperbaiki sistem informasi pelaporan SPT agar bisa mengedukasi sekaligus tidak terkesan menjebak Wajib Pajak.

Jika kita merujuk ke pasal 39 UU Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (KUP) telah diatur bahwa setiap orang, baik karena kealpaan atau sengaja, tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi keterangan dan isinya tidak benar atau tidak lengkap dapat dikenakan sanksi pidana.

Sementara itu, konsekuensi tidak melaporkan LHKPN justru sangat ringan, yaitu memberikan rekomendasi kepada atasan langsung atau pimpinan Lembaga tempat penyelenggara negara berdinas untuk memberikan sanksi administratif. Walaupun jika memberikan keterangan tidak benar mengenai harta kekayaannya dapat dikenakan hukuman berdasarkan UU No. 28/1999 terkait korupsi, kolusi dan nepotisme yang termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *